Dunia Memperingati Down Syndrome 21 Maret, Ini Sejarah, Tema, dan Cara Penanganannya
Jakarta, Ditjen Vokasi PKLK - Sejak dirayakan pertama kali pada pada 21 Maret 2012, sejak itulah masyarakat dunia memperingati 21 Maret sebagai Hari Down Syndrome Sedunia atau World Down Syndrome Day (WDSD). Setiap tanggal ini, masyarakat dunia diajak untuk menciptakan dunia yang inklusif dan ramah bagi penyandang down syndrome.
Istilah down syndrome pertama kali dikemukakan oleh dokter dari Inggris, Jong Langdon Down pada tahun 1866. Seratus tahun kemudian, dr. Jerome Lejeune di Paris menemukan bahwa down syndrome diakibatkan oleh jumlah kromosom 21 yang tidak normal.
Pada 19 Desember 2011, isu down syndrome diangkat dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian menetapkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Down Syndrome Sedunia. Tanggal 21 Maret dipilih karena melambangkan trisomi 21, yaitu keberadaan tiga salinan kromosom ke-21 yang menjadi penyebab down syndrome.
Mengangkat tema “Improve Our Support System”, peringatan Hari Down Syndrome Sedunia ini mengingatkan peran dukungan bagi penyandang down syndrome untuk membantu mewujudkan hak-hak mereka. Selama ini banyak penyandang down syndrome di seluruh dunia tidak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan. Oleh karena ini, pemerintah di seluruh negara dituntut untuk memastikan adanya sistem pendukung sehingga anak dengan down syndrome tidak hanya dapat diterima di masyarakat, tetapi juga dapat memenuhi hak-haknya, seperti pendidikan yang baik, pekerjaan yang layak, mengambil bagian dalam politik, dan sebagainya.
Meningkat
Dirangkum dari sejumlah sumber, down syndrome merupakan kondisi kromosom yang tidak normal pada anak-anak yang baru lahir, yaitu munculnya duplikat kromosom 21 yang disebut “trisomi”. Jika biasanya bayi yang disebut normal lahir dengan 46 kromosom, akan tetapi bayi dengan down syndrome memiliki tambahan salinan dari kromosom 21.
Tambahan kromosom pada kromosom 21 ini menyebabkan jumlah protein tertentu yang berlebih sehingga mengganggu pertumbuhan tubuh dan otak. Tambahan kromosom ini juga menyebabkan perbedaan pada bentuk fisik, tingkat intelektual, tumbuh kembang, dan masalah kesehatan pada penyandang down syndrome.
Sayangnya, angka individu dengan down syndrome tidaklah sedikit, bahkan cenderung meningkat. Menurut PBB, setiap tahun ada 3.000–5.000 bayi lahir dengan down syndrome. World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 1 kelahiran down syndrome per 1.000 kelahiran hingga per 1.100 kelahiran di seluruh dunia. Sebagai ilustrasi, dari 1.100 kelahiran ada satu bayi dengan down syndrome.
Bayi down syndrome biasanya memiliki ukuran kecerdasan (IQ) dalam kisaran agak rendah dan lebih lambat bicara dibandingkan anak-anak umumnya. Biasanya, penyandang down syndrome ini memiliki fisik yang mirip ditandai dengan wajah rata terutama pangkal hidung, mata sipit dengan leher pendek, telinga kecil, dan tangan dan kaki kecil.
Selain itu, anak dengan down syndrome biasanya juga memiliki lidah yang cenderung menjulur keluar dari mulut dan jari kelingking kecil melengkung ke arah ibu jari. Persendian mereka biasanya kendur karena otot tonus buruk, serta tinggi badan biasanya lebih pendek dengan orang seusianya.
Meskipun demikian, kualitas hidup penyandang down syndrome dapat ditingkatkan. Salah satunya melalui pemenuhan kebutuhan perawatan kesehatan, seperti pemeriksaan rutin untuk memantau kondisi fisik dan mental dan fisik. Intervensi yang tepat juga perlu dilakukan melalui fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, konseling, atau pendidikan khusus.
Anak dengan down syndrome juga dapat mencapai kualitas hidup yang optimal dengan dukungan sistem yang kuat mulai dari keluarga, khususnya orang tua, sistem pendukung berbasis masyarakat, seperti pendidikan inklusif di semua tingkatan. Hal ini memfasilitasi partisipasi mereka dalam masyarakat umum dan pemenuhan potensi pribadi mereka.