Permen PPKS Lindungi Korban Kekerasan Seksual

Jakarta, Ditjen Diksi – Disampaikan melalui Merdeka Belajar episode empat belas pada Jumat (12/11), Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim resmi meluncurkan Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS) guna melindungi seluruh civitas akademik perguruan tinggi dari kekerasan seksual.

Nadiem menegaskan, adanya Permen PPKS dapat dijadikan payung hukum bagi pimpinan perguruan tinggi untuk mengambil tindakan yang tegas terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampusnya. “Permen PPKS memperinci bentuk tindakan dengan konsekuensi sanksi administratif, mengakui kemungkinan bentuk kekerasan seksual tersebut berkembang, dan mengatur langkah-langkah pencegahan guna mengurangi kerugian akibat kasus kekerasan seksual,” jelasnya.

Misalnya, Pasal 5 Permen PPKS merinci jenis-jenis tindakan kekerasan seksual fisik maupun nonfisik, serta verbal maupun digital. Di dalamnya, terdapat sekitar 20 perilaku yang termasuk dalam kekerasan seksual yang dapat dikenakan sanksi, mulai yang paling ringan hingga berat.

“Permendikbudristek PPKS ini juga berupaya menghilangkan area ‘abu-abu’ yang ada selama ini. Apa yang dimaksud dengan area abu-abu? Area abu-abu adalah aktivitas-aktivitas yang dipahami secara tidak hitam dan putih, apakah itu merupakan kekerasan seksual atau bukan,” tegas Menteri Nadiem.

Adapun target Permen PPKS tersebut menyasar pada kasus kekerasan seksual yang terjadi antarmahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan, bahkan pada kasus antarperguruan tinggi.

Serupa fenomena gunung es, Nadiem menilai Indonesia sudah memasuki fase darurat kasus kekerasan seksual. Berdasarkan 100 testimoni korban kekerasan, terdapat sebanyak 90 persen perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Lalu pada survei yang dilakukan kepada dosen perguruan tinggi, sebanyak 77 persen merespons bahwa benar adanya kekerasan seksual pernah terjadi di kampus mereka.

Merujuk Pasal 10 hingga Pasal 19, Nadiem mengajak civitas akademika agar berperan aktif melindungi korban. “Pendampingan yang dimaksud mencakup konseling, advokasi, layanan kesehatan, bantuan hukum, bimbingan sosial dan rohani, serta pendamping bagi penyandang disabilitas,” jelasnya.

Adapun terkait dengan perlindungan, meliputi jaminan keberlanjutan pendidikan atau pekerjaan, penyediaan rumah aman, serta korban atau saksi bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang diberikan.

Sementara itu kegiatan pemulihan terhadap korban dilakukan bersama pihak terkait dengan persetujuan korban atau saksi, serta tidak mengurangi hak pembelajaran dan/atau kepegawaian. Selanjutnya, terkait pengenaan sanksi administratif, yakni menyasar kepada sanksi golongan, sanksi individu, serta sanksi untuk perguruan tinggi.

Karenanya, Nadiem menegaskan urgensi dikeluarkannya Permen PPKS yang bertujuan untuk: (1) Memberikan hak mendapatkan pendidikan yang aman bagi mahasiswa/i, (2) Memberikan kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi untuk mengambil tindakan tegas, (3) Mengedukasi isu kekerasan seksual, serta (4) Kolaborasi antara kementerian dengan kampus-kampus untuk menciptakan budaya akademik yang sehat sesuai dengan akhlak mulia.

Lebih lanjut, Menteri Nadiem menegaskan perlu dibentuknya satgas di setiap perguruan tinggi untuk menangani kasus kekerasan seksual. Harapannya, 30 persen dari semua perguruan tinggi negeri sudah membentuk satgas, hingga pada Oktober tahun 2022 sudah mencapai 100 perguruan tinggi. Adapun pada perguruan tinggi swasta, mengenai pembentukan satgas dapat meminta bantuan pada LLDIKTI.

Apabila keputusan pemimpin perguruan tinggi dirasa tidak adil, korban dan/atau terlapor dapat meminta Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) dan/atau Dirjen Pendidikan Vokasi (Dirjen Diksi) untuk melakukan pemeriksaan ulang. Sedangkan rektor dan direktur harus memantau dan mengevaluasi rutin seluruh kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, serta kinerja satgas di kampusnya. (Diksi/Tan/AP/KR)