Entrepreneurship, Solusi Menghadapi Bonus Demografi
Jakarta, Ditjen Diksi - “Bonus demografi adalah tantangan, sekaligus kesempatan besar. Bagaimana cara kita menghadapi masalah besar jika kita tidak mampu menyediakan lapangan kerja. Akan menjadi sukses jika kita mampu menghasilkan SDM (sumber daya manusia, red) yang maju.” Demikian kutipan Pidato Presiden Joko Widodo ketika dilantik di Gedung DPR/MPR pada 2019 lalu. Pada 30 tahun yang akan datang, Indonesia diprediksi mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif atau mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa.
Hal inilah yang kemudian menginisiasi program revitalisasi pendidikan vokasi untuk menciptakan SDM yang dinamis, terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta berdaya saing global. Peran ini pun disetujui oleh Alfian Jalil selaku lulusan Politeknik Negeri Lhokseumawe (PNL) yang kini sukses meniti karier sebagai general manager di PT Idemitsu Kosan.
Mengenai sekolah kejuruan sebagai salah satu solusi bonus demografi bagi Indonesia, Alfian optimistis bahwa pemerintah telah mengambil langkah yang tepat untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusianya. Meski demikian, tenaga kerja yang berlimpah ini harus disesuaikan dengan revolusi dunia industri 4.0 yang menyebabkan banyak peran tenaga manusia digantikan dengan mesin. Karenanya, “Sekolah vokasi itu harus berpikir dengan konsep yang berbeda dibandingkan dengan sebelumnya,” ujarnya.
Alhasil, pendidikan vokasi perlu mengembangkan kurikulum pendidikan yang tidak hanya menyiapkan tenaga siap kerja, namun juga mampu berpikir kreatif dengan melihat peluang bisnis yang ada. “Kalau dulu di sekolah vokasi dididik untuk bekerja di industri, mungkin harus ada tambahan, misalnya dengan mata kuliah how to run the business. Jadi, tidak hanya bekerja di industri, tapi juga percaya diri untuk running bisnis sendiri,” jelas Alfian.
Dengan pendidikan karakter dan mindset entrepeneurship inilah, lulusan vokasi diharapkan tidak hanya mampu bersaing di dunia usaha dan dunia industri, melainkan juga mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Hal ini tentunya akan membantu menekan angka pengangguran yang terus meningkat, serta menjadi solusi atas kekhawatiran tenaga manusia yang berpotensi digantikan dengan sistem robotic di masa depan. “Entrepeneruship-nya itu harus ada di sekolah vokasi. Karena, how to run the business itu actually cannot replace by machine, tidak mungkin semuanya di-replace dengan mesin,” tuturnya.
Hal senada juga diungkapkan Asep Faridudin selaku Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas dan Hubin SMKN 1 Kota Garut, Jawa Barat. Sebagai pihak sekolah yang terus menjalin kerjasama dengan industri, Asep mengakui jika tujuannya hanya sektor industri, maka lulusan vokasi dipastikan tidak dapat terserap seutuhnya. “Ketika kita mengatakan dunia industrinya masih kurang, mereka mengatakan harusnya anak-anak SMK itu lebih banyak dididik, dibina, dan dipersiapkan untuk wirausaha,” ungkapnya.
Asep berharap, ke depannya semakin banyak sekolah kejuruan yang menyadari pentingnya pendidikan entrepreneurship untuk membekali lulusannya. “Kalau mereka dididik, dibina, dan diupayakan untuk jadi seorang wirausahawan, maka peluangnya akan sangat terbuka dengan lebar karena bisa melakukan apa saja,” tuturnya.
Selain itu, Alfian juga berharap pemerintah dapat menjembatani lembaga dan sekolah di dalam negeri agar memiliki peluang untuk bekerja secara profesional di luar negeri. “Pemerintah itu juga harus membuka atau menjembatani peluang yang lebih besar untuk bekerja di luar, karena itu juga salah satu solusi,” imbuhnya. (Diksi/TM/AP/GS)