Ditjen Diksi Gandeng GSM Bangun Ekosistem Pendidikan Adaptif

Yogyakarta, Ditjen Diksi - Dunia kini tengah menghadapi perubahan yang cepat, terlebih ketika menghadapi masa pandemik. Penggagas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal mengatakan, di era revolusi teknologi informasi ini, jenis pekerjaan juga akan berubah dengan sangat cepat. Menurutnya, pada tahun 2025 atau 2030 akan ada 85 juta pekerjaan hilang dan akan muncul 97 juta pekerjaan baru. “Masalahnya belum diketahui jenis pekerjaan baru yang akan muncul itu apa dan yang hilang itu apa,” ujar Rizal.

Menurut Rizal, sistem pendidikan di Indonesia perlu lebih adaptif dengan berbagai perubahan yang cepat terjadi di dunia ini. “Maka, ekosistem yang menyenangkan ini dibutuhkan karena anak didik akan punya rasa senang di dalam mengikuti proses belajarnya di sekolah, sehingga anak itu bisa kecanduan untuk terus-menerus belajar menjadi pembelajar sepanjang hayat. Anak-anak kita perlu dilatih dalam ekosistem yang fleksibel dan adaptif terhadap berbagai macam perubahan,” jelasnya.

Upaya yang tengah dilakukan Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi melalui sinergisitas dengan komunitas akar rumput, dirasa Rizal akan lebih efisien dalam proses perubahan dan lebih efektif dalam pembelajarannya. Saat ini sinergisitas tengah dibangun antara Ditjen Pendidikan Vokasi dengan GSM dengan melakukan program pelatihan melalui workshop dan pendampingan terhadap 490 kepala sekolah menengah kejuruan (SMK) dalam penguatan ekosistem SMK.

“Saya senang karena Ditjen Pendidikan Vokasi mau mengadopsi secara utuh proses perubahan yang dilakukan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan, mulai dari perubahan mindset guru-guru maupun birokrasi serta stakeholder-nya. Kemudian pada perubahan perilaku melalui proses pendampingan kepala sekolah yang akan dilakukan selama enam bulan ke depan, serta perubahan kepercayaan diri bahwa visi ke depan atau ekosistem sekolah ke depan itu harus lebih memanusiakan dan memerdekakan anak didiknya,” terang Rizal.

Bagi Rizal, dengan membangun ekosistem baru yang lebih memanusiakan dan memerdekakan anak didik, maka mereka akan merasa memiliki ruang-ruang otonominya sendiri agar bisa membangun bakat, talenta, dan passion dalam proses belajar di sekolah. “Harapannya, anak-anak nanti termotivasi dan antusias di dalam proses belajarnya,” imbuhnya.

Di samping itu, GSM sendiri selama empat tahun lebih telah mendampingi sekolah-sekolah pinggiran negeri yang bertransformasi dengan cepat melalui prinsip berubah, berbagi, dan kolaborasi. Adapun fokus GSM terletak pada strategi belajar atau metakognisi. “Kita bukan fokus di konten, tapi strategi dengan metodologi yang berubah-ubah. Tidak seperti di sekolah-sekolah yang metodologinya konstan, seperti ceramah-ujian, dan tidak ada strategi belajarnya sehingga anak-anak tidak pernah belajar fleksibilitas di dalam mencari alternatif-alternatif jalan,” tutur Rizal. 

Rizal menekankan bahwa dunia sekolah membutuhkan pola paradigma berpikir yang baru serta ekosistem yang lebih memanusiakan dan memenuhi kodrat-kodrat manusia, sehingga membutuhkan metodologi, terobosan, dan pendekatan baru.

“Di era ke depan kita sedang mendidik anak generasi milenial yang cara berpikir dan cara bertindaknya sangat berbeda dengan para pemandu kebijakan saat ini, termasuk para kepala sekolah. Maka, kita harus melakukan terobosan-terobosan dan cara-cara baru yang sesuai dengan kebutuhan anak didik. Saya percaya wadah-wadah bertukar antarsekolah, kepala sekolah, dan guru akan mengubah generasi masa depan,” pungkas Rizal. (Diksi/RA/AP/GS)