Selain Kompetensi, Ini Hal Lain yang Ada di Vokasi dan Dibutuhkan Industri

Selain Kompetensi, Ini Hal Lain yang Ada di Vokasi dan Dibutuhkan Industri

Jakarta, Ditjen Vokasi - Jagad dunia maya Indonesia sedang ramai dengan perbincangan tentang lulusan sarjana yang kalah bersaing dengan lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) dalam memperebutkan posisi pekerjaan di sebuah perusahaan. Dalam postingan tersebut disebutkan bahwa lulusan sarjana dari salah satu kampus ternama ini harus kalah bersaing dengan lulusan SMK yang sudah mengantongi sertifikat internasional.


Menanggapi hal tersebut, pendiri sekaligus pemilik Dtech Engineering, Arfi’an Fuadi, mengaku pernah merasakan hal yang sama. Hanya saja, saat itu, Arfi’an yang juga lulusan SMK baru menginjak usia 24 tahun. 


“Saya baru umur 24 tahun saat itu, tapi saya sudah dapat pengalaman dan sertifikat internasional dan saya juga hanya lulusan SMK,” ujar Arfi’an. 


Sebagai pengusaha sekaligus lulusan vokasi, Arfian mengakui bahwa secara umum dengan pendekatan pembelajaran yang berbasis pada teaching factory maupun project based learning yang diterapkan di SMK-SMK saat ini, membuat pendidikan dan pelatihan vokasi memang cenderung mampu melahirkan lulusan-lulusan yang sudah siap untuk bekerja. Hal itu juga yang membuat lulusan vokasi berpeluang lebih di lirik dalam persaingan di dunia kerja.  


“Akhir-akhir ini saya melihat memang gencar sekali lulusan SMK dibekali kompetensi lebih,” kata Arfi’an.


Sebagai pengusaha, menurut Arfian, dunia usaha dan dunia industri (DUDI) memang membutuhkan calon karyawan yang memiliki nilai lebih. Mereka tidak hanya dibekali dengan kompetensi, tetapi juga-nilai lain yang membuat mereka bisa diterima di dunia kerja dan dapat bersaing di pasar dunia kerja.


“Titik berat perusahaan sekarang ada beberapa poin. Untuk saya pribadi sebagai pengusaha di bidang teknologi, kami membutuhkan karyawan dengan nilai-nilai seperti attitude, experience, dedication, willingness to grow, dan soft skills,” kata Arfian. 


Soft skills yang dimaksud Arfi’an adalah kemampuan untuk bekerja dalam tim. Calon pekerja juga harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik serta awareness level atau level kepedulian yang tinggi. 


Sayangnya, nilai-nilai tersebut cenderung jarang diperhatikan karena memang tidak ada dalam text book. Sebaliknya, nilai-nilai tersebut cenderung hanya bisa didapatkan dari pengalaman saat terjun langsung ke dunia industri.


Arfi’an mencontohkan pada nilai pengalaman yang sangat diperlukan oleh industri. Pengalaman kerap menjadi syarat utama yang diajukan oleh perusahaan saat merekrut karyawan. Selain menjadi bukti penguasaan kompetensi, dengan pengalaman calon pekerja akan dianggap memiliki kemampuan, keterampilan, dan kecakapan dalam menyelesaikan bidang pekerjaan tersebut.


“Menurut saya, lingkungan pendidikan selama ini cenderung gagal memberikan experience ke peserta didik, baik itu experience riset maupun experience, untuk mengerjakan suatu project atau pekerjaan seperti pada dunia kerja,” ujar Arfi’an melanjutkan. 


Berbeda dengan pendidikan vokasi yang cenderung mengedepankan praktik. Lulusan pendidikan vokasi umumnya lebih memiliki pengalaman yang mereka dapatkan dari berbagai project-project selama belajar maupun melalui magang kerja yang memang menjadi salah satu program wajib bagi peserta didik vokasi.


Sejak di bangku sekolah, siswa atau mahasiswa vokasi juga sudah diperkenalkan dan dibekali dengan budaya kerja atau budaya industri, termasuk dengan nilai-nilai yang diinginkan oleh industri di atas. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika lulusan vokasi memiliki peluang lebih saat bersaing di pasar kerja, terlebih mereka telah dilengkapi dengan sertifikat kompetensi. (Nan/Cecep)