Sakernas 2023: 29 Persen Mahasiswa Politeknik sudah Bekerja Sebelum Lulus
Jakarta, Ditjen Vokasi - Pendidikan vokasi, baik sekolah menengah kejuruan (SMK) maupun perguruan tinggi vokasi (PTV), menjadi fokus pemerintah dalam menciptakan lulusan sumber daya manusia (SDM) yang siap kerja. Proses pembelajaran yang dilaksanakan di satuan pendidikan vokasi berperan penting dalam mempersiapkan peserta didik untuk dapat langsung masuk lapangan kerja setelah menyelesaikan studi.
Dalam beberapa tahun terakhir, transformasi pendidikan vokasi yang terus dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mulai membuahkan hasil. Hal tersebut setidaknya dapat dilihat dari laporan terbaru Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 yang menunjukkan bahwa 29 persen lulusan politeknik telah bekerja sebelum mereka lulus.
“Ini adalah kabar baiknya, 29 persen lulusan politeknik telah bekerja sebelum mereka lulus. Dari 31% lulusan PTV yang lulus setahun yang lalu, saat ini sudah bekerja, di mana 29% telah bekerja bahkan sebelum lulus,” kata Deputi Bidang Statistik Sosial, BPS, Ateng Hartono, saat Seminar Publikasi Profil Pendidikan Vokasi Tahun 2023 di Jakarta, Jumat (22-12-2023).
Menurut Ateng, secara umum, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) lulusan vokasi menunjukkan angka yang baik. Selain 29 persen lulusan politeknik yang sudah bekerja sebelum lulus, di level SMK, juga menunjukkan tren sama, meskipun persentasenya jauh lebih kecil.
“Untuk jenjang SMK, lebih dari 45% lulusan SMK yang lulus setahun yang lalu saat ini sudah bekerja, dan 11% di antaranya telah bekerja sebelum lulus, yakni sekitar 139.066 siswa,” tambah Ateng.
Sektor perdagangan dan industri pengolahan menjadi sektor dengan penyerapan tenaga kerja vokasi yang tertinggi, baik untuk lulusan SMK maupun untuk lulusan pendidikan diploma.
“Sementara menurut penghasilannya, lulusan PTV yang menerima penghasilan lebih/sama dengan 1,2 kali upah minimum provinsi (UMP) lebih banyak daripada yang menerima penghasilan di bawah 1,2 kali UMP,” tambah Ateng.
Lebih lanjut, Ateng melihat bahwa saat ini tantangan yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi adalah bagaimana memperkecil mismatch kebutuhan pasar kerja. Link and match menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya mismatch antara supply yang disediakan oleh lembaga pendidikan vokasi dan demand yang dibutuhkan oleh dunia industri.
“Apalagi pendidikan vokasi memang memiliki peran besar untuk meningkatkan kualitas serta daya saing tenaga kerja melalui peningkatan keterampilan dan keahlian tertentu,” tambah Ateng.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kiki Yuliati, dalam sejumlah kesempatan kerap menyebutkan bahwa kondisi ideal pendidikan dan pelatihan vokasi adalah lulusannya dapat terserap di pasar tenaga kerja yang sesuai dengan kemampuan yang diajarkan. Dengan demikian, salah satu indikasi keberhasilan perguruan tinggi vokasi dilihat dari tingkat kebekerjaan lulusannya. (Nan/Cecep)