Dirjen Pendidikan Vokasi Bawa Praktik Baik Merdeka Belajar ke Sidang Unesco

Dirjen Pendidikan Vokasi Bawa Praktik Baik Merdeka Belajar ke Sidang Unesco

Paris, Ditjen Vokasi - Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kiki Yuliati, berbagi praktik baik Merdeka Belajar dalam mendukung pendidikan inklusif di Indonesia pada UNESCO Headquarters, Paris, Prancis. Praktik baik ini diharapkan menjadi kontribusi positif dalam upaya global untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan merata. 


Menjadi salah satu panelis dalam sesi “Inclusion to ensure a better future in a fast-evolving world” di UNESCO Headquarters, Dirjen Kiki menjelaskan pada seluruh audiens yang merupakan perwakilan dari kementerian pendidikan tingkat tinggi dari berbagai negara tersebut tentang bagaimana kebijakan Merdeka Belajar telah berhasil menjangkau semua murid di Indonesia dengan berbagai program untuk menjangkau wilayah dan kelompok rentan. 


Dirjen Kiki juga menggambarkan bagaimana kebijakan Merdeka Belajar telah mampu menjadi solusi dalam menghadapi berbagai tantangan pendidikan di Indonesia, utamanya terkait dengan luasnya keragaman dan tantangan wilayah di Indonesia. 



“Pemerintah Indonesia menggunakan berbagai strategi inovatif untuk menjangkau wilayah dan kelompok yang terdepan dan terpencil. Pada prinsipnya, semua anak harus belajar bersama, bila memungkinkan, terlepas dari kesulitan atau perbedaan apa pun yang mereka miliki,” kata Dirjen Kiki. 


Selain memperkenalkan Merdeka Belajar, pada kesempatan tersebut Dirjen Kiki juga menjelaskan tentang Platform Merdeka Belajar, di mana guru dapat mengunggah dan menggunakan berbagai bahan terkurasi untuk saling berbagi dan meningkatkan proses belajar. 


“Kami juga memiliki program khusus untuk penyetaraan bagi yang putus sekolah untuk membekali mereka agar dapat mengakses program pendidikan yang layak. Program khusus untuk masyarakat lokal dengan menggunakan bahasa ibu dalam pembelajaran, khususnya bagi kelas-kelas awal,” terang Dirjen Kiki. 


Terus Dipromosikan 


Meskipun ada kemajuan signifikan dalam mewujudkan pendidikan inklusif dalam satu dekade terakhir di berbagai negara, Dirjen Kiki mengakui masih adanya disparitas yang dalam pelaksanaan pendidikan inklusi. Menurutnya, masih ada jutaan anak dan remaja yang masih terbatas hak mereka untuk mendapatkan pendidikan karena berbagai faktor, seperti kemiskinan, lokasi geografis, gender, bahasa, disabilitas, etnis, status migrasi, atau pengungsi. 


“Karena itulah, pendidikan inklusi harus terus dipromosikan terutama dalam memastikan bahwa sekolah melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus,” ujar Dirjen Kiki. 




Sebagai informasi, berdasarkan TES Dashboard of Country Commitments and Actions, dari 143 komitmen nasional yang dibuat oleh negara-negara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), 87% mengakui pentingnya memastikan sistem pendidikan yang lebih inklusif yang memperhatikan kebutuhan peserta belajar dan masyarakat yang paling rentan. Banyak negara telah mengesahkan undang-undang dan kebijakan untuk mempromosikan pendidikan inklusif. 


Pendidik, pembuat kebijakan, orang tua, dan masyarakat juga semakin mengakui nilai pendidikan yang mempromosikan keragaman, keadilan, dan kohesi sosial. Sekitar 60% negara tercatat telah menyediakan pelatihan guru tentang inklusi yang memungkinkan mereka membentuk lingkungan kelas inklusif dan berkolaborasi dengan para profesional pendidikan khusus serta staf pendukung. 


Di tingkat global, UNESCO juga mendukung hak pendidikan anak-anak dan remaja yang paling terpinggirkan, terutama melalui advokasi, pemantauan, dan rekomendasi kebijakan. Di tingkat nasional, UNESCO membantu negara-negara untuk mengimplementasikan rekomendasi berbasis bukti tentang inklusi. 


Misalnya, UNESCO telah mendukung 9 negara di Afrika Selatan untuk mengembangkan keterampilan berpikir sistem mereka untuk memperluas pendidikan inklusif. Di Asia dan Pasifik, UNESCO telah meluncurkan kursus pengembangan platform pelatihan daring tentang Kesetaraan dan Inklusi dalam Pendidikan. (Nan/Cecep)