Ajarkan Keterampilan Vokasional, SLBN Cicendo jadi Sekolah untuk Tunarungu Tertua di Indonesia

Ajarkan Keterampilan Vokasional, SLBN Cicendo jadi Sekolah untuk Tunarungu Tertua di Indonesia

Bandung, Ditjen Vokasi PKLK - Sekolah Luar Biasa (SLB) telah mana dikenal sebagai sekolah khusus bagi anak-anak usia sekolah yang memiliki  “kebutuhan khusus”. Akan tetapi, tahukah kamu? Salah satu SLB tertua di Indonesia rupanya berada di Bandung, Jawa Barat. Nama SLB tersebut adalah SLBN Cicendo, yang melayani anak-anak berkebutuhan khusus, yakni tuna rungu.


Dikutip dari Majalah Spirit (Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus) dan berbagai sumber, cikal bakal SLB Cicendo dirintis oleh pemerintah kolonial Belanda pada 3 Januari 1930 dengan mendirikan Perkumpulan Penyelenggaraan Pengajaran kepada anak-anak tuli bisu di Indonesia. Pendirian tersebut merupakan inisiatif Ny. CM. Roeslfsema Wesselink, yakni istri dokter HL. Roeslfsema yang merupakan ahli THT di Indonesia. 


Setelah tiga tahun berselang, pada 6 Mei 1933, pembangunan SLB Cicendo yang terletak di Jalan Cicendo Nomor 2, KOta Bandung ini dimulai. Peletakan batu pertama bangunannya dilakukan oleh Hoo gede Geboren, istri Gouverneur Generaal Van Nederlandsch Indië. Sekolah dan asrama ini dibuka secara resmi pada Desember 1933 dengan mendatangkan dua orang Guru Ahli dari Nederland, yaitu Dw Bloemink dan Nn. E.Gudberg, Tuan Bloemink yang diangkat menjadi direktur.


“Sekolah ini paling tertua se-Indonesia untuk sekolah tuli bisu, bahkan se-Asia dan sekolah pertama tuli bisu,” kata Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SLBN Cicendo, Ine Rahayu. 


Gedung SLB Cicendo yang terletak pada ketinggian 752 mdpl ini dibangun dengan gaya arsitektur tradisional Indonesia dan art deco khas bangunan Eropa tempo dulu. Kompleks gedung SLB terdiri atas pagar luar yang mengelilingi kompleks, pagar dalam, dan ruangan fasilitas sekolah. 


Bangunan ini didirikan dengan menggunakan kerangka besi baja yang masih kokoh, pintu dan jendela dari plat besi dan kaca, sedangkan bagian kaki bangunan dari batu kali. Penggunaan material bangunan seperti ini merupakan salah satu ciri bangunan kuno yang didirikan tahun 1930-an di Kota Bandung. 


Saat pendudukan Jepang di Indonesia, sekolah dan asrama SLB Cicendo ini sempat beralih fungsi menjadi klinik bersalin. Namun, seiring dengan kekalahan Jepang, bangunan ini kembali diserahkan kepada  Kementerian dan Pendidikan Pengajaran pada 1 Juni 1949.


Untuk melanjutkan fungsi gedung tersebut, kementerian kemudian mengundang guru ahli asal Belanda Jivan Dooran dan Vanderbeek. Jivan Dooran diangkat menjadi Direktur Lembaga Pendidikan Anak Tuli Bisu (LPATB), dan pada 1952 diteruskan Vanderbeek.


Saat ini, bangunan SLBN Cicendo ini menjadi bangunan cagar budaya yang ditetapkan oleh Perda Kota Bandung Nomor 19/2009. Keterangan ini ditulis pada sebuah keramik yang ditempelkan di tembok depan bangunan sekolah. 


Tidak hanya sekadar megah dengan bangunan arsitektur lawas yang kokoh, SLBN Cicendo juga merangkul gaya kekinian dengan membuat ruang sinar/podcast Cicendo Edutainment SLBN Cicendo Bandung 


Terampil dengan Pendidikan Vokasional 


Sebelumnya, SLB Cicendo dibagi dua menjadi SLB I untuk anak tunarungu murni dan SLB II untuk tunarungu yang mengalami kelainan ganda. Pembagian ini dilakukan pada 1996, sebelum akhirnya pada Desember 2008 dilebur menjadi SLB Negeri Cicendo.


Saat ini SLBN Cicendo merupakan sekolah berprestasi yang ramah anak. SLB yang terletak di bangun cagar badaya nan historis ini memiliki visi terwujudnya peserta didik yang Berkarakter, Cerdas, dan Memiliki Kecakapan Hidup. 


Kecakapan hidup yang diajarkan di sekolah ini dapat ditempuh melalui program pendidikan vokasional yang diperuntukkan bagi peserta didik untuk membekali pengetahuan dan keterampilan/keahlian tertentu agar mampu hidup mandiri dan mampu mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan masyarakat, mampu berkompetisi dalam pasar kerja, dan berwirausaha. Beberapa program vokasional yang dikembangkan di SLB Negeri Cicendo antara lain desain grafis, tata kecantikan, tata boga, dan suvenir. (Nan/Cecep)