Widyaningsih Tri Kusuma Astuti: Mengubah Hidup Melalui Program PKW
Meski memiliki waktu belajar yang singkat, program kursus dan pelatihan cukup efektif mempersiapkan tenaga kerja atau pun calon-calon wirausaha.
Surakarta, Ditjen Vokasi - Tahun 2020, bisa dibilang menjadi awal titik balik dalam perjalanan hidup seorang Widyaningsih Tri Kusuma Astuti. Langkah kecilnya mengikuti program Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW) bidang tata kecantikan dan digital marketing telah mengubah jalan hidupnya, dari mantan buruh pabrik plastik, menjadi pemilik sebuah salon kecantikan di kampung halamannya, Solo, Jawa Tengah.
Program PKW yang diikuti Widya, begitu perempuan muda ini biasa disapa merupakan salah satu program pendidikan dan pelatihan kewirausahaan yang diselenggarakan oleh Direktorat Kursus dan Pelatihan, Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dalam pelaksanaannya, program ini bekerja sama dengan lembaga kursus dan pelatihan (LKP) yang sudah diseleksi sebelumnya.
Widya sendiri merupakan salah satu peserta program PKW tahun 2020 yang diselenggarakan di LKP Yanti, sebuah LKP yang bergerak di bidang salon dan kecantikan yang berlokasi di daerah Banjarsari, Surakarta, Jawa Tengah.
Lahir dan besar di tengah keluarga yang kurang mampu membuat Widya tak memiliki banyak pilihan. Ibunya adalah seorang tenaga kerja wanita (TKW), sementara ayahnya hanya buruh pabrik mebel di kota Solo. Widya pun terpaksa putus sekolah, mengikuti jejak kedua kakaknya yang bernasib sama, hanya bisa menamatkan sekolah menengah pertama (SMP).
“Ingin sekali sebenarnya bisa melanjutkan sekolah, tetapi mau bagaimana lagi. Jadi, terpaksa sekolah hanya sampai SMP, apalagi ada adik-adik juga,” kata anak ketiga dari lima bersaudara ini mengawali cerita.
Widya yang tidak bisa melanjutkan sekolah, bahkan sempat terseret ke dunia malam. Meskipun hanya beberapa bulan merasakan kerasnya kehidupan malam, pilihan dunia malam memang terasa sangat berat bagi Widya. Sayangnya, apa daya, saat itu Widya tidak ada pilihan lain. Ia tidak memiliki keterampilan, apalagi ijazah yang bisa menjadi daya tawar untuk melamar pekerjaan.
“Mau kerja apa wong tidak punya ijazah. Jadi, ya terpaksa ikut kerja malam,” kata Widya yang mengaku sempat sakit-sakitan karena tidak kuat terus menerus bergadang untuk bekerja. “Saya juga terus sambil cari kerjaan karena badan saya tidak kuat,” kata Widya menambahkan.
Beruntung, akhirnya Widya bisa diterima bekerja sebagai buruh di pabrik plastik di Solo. Dari pekerjaannya tersebut, Widya bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp300.000 per minggu. Sayangnya, belum setahun bekerja, Widya justru terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) imbas pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pada 2020 lalu. Saat itu usianya baru 19 tahun. Ia juga baru saja memiliki anak.
Saat dalam kebingungan, Widya tanpa sengaja menemukan brosur kursus program PKW yang diselenggarakan oleh LKP Yanti Surakarta. Brosur itu dipasang di pos ronda, tidak jauh dari rumah Widya yang berada di belakang Stasiun Solo Balapan. Merasa tak memiliki keterampilan, Widya pun memutuskan mendaftar. Iming-iming kursus yang gratis dan bantuan modal usaha semakin memantapkan langkah Widya untuk mengikuti program PKW bidang tata kecantikan dan digital marketing.
“Padahal awalnya benar-benar saya tidak tahu apa yang akan saya pelajari. Saya hanya coba datang saja dulu karena kebetulan tempat kursusnya juga dekat sama rumah,” kata Widya.
Bersama 25 peserta lainnya, Widya pun resmi menjadi peserta program PKW. Selama kurang lebih tiga bulan, Widya mempelajari berbagai keterampilan di bidang kecantikan. Ia juga belajar bagaimana membuka usaha salon dan mendalami digital marketing untuk menawarkan jasa usahanya kelak.
Mendirikan Salon
Berbekal keterampilan tata kecantikan dan bantuan modal berupa alat dan bahan-bahan keperluan salon, Widya dan empat rekannya sesama peserta program PKW di LKP Yanti, akhirnya membuka salon kecantikan. Salon bersama tersebut berada di rumah salah satu rekan Widya di daerah Banjarsari.
Dari keuntungan usaha bersama tersebut, Widya mencoba mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk berdikari dengan mendirikan salon sendiri. Hasilnya, tak sampai setahun dari program kursus yang ia ikuti, Widya pun berhasil mendirikan salonnya sendiri. Ia memanfaatkan salah satu ruangan di rumahnya sebagai salon. Widya lebih senang menyebut salonnya sebagai studio, Studio Kity namanya.
Meskipun belum terlalu besar, namun pelanggan salonnya cukup banyak. Dalam sehari Widya bisa melayani 10 hingga 16 orang pelanggan, baik yang datang ke studionya maupun layanan home care. Widya memang membuka layanan home care sebagai salah satu inovasi layanan studionya.
Untuk menjangkau pelanggan yang lebih luas, Widya juga memanfaatkan sosial media untuk menawarkan jasa salonnya. Hasilnya, pelanggan setianya tidak hanya warga sekitar, tetapi juga menjangkau jauh lintas kecamatan.
“Jadi, kalau ada panggilan ke rumah ya datang ke rumah. Tapi kebanyakan memang layanan home care,” kata Widya yang mengaku memulai semuanya dari nol, artinya bahan-bahan kebutuhan salon dibeli secara mencicil.
Guna melengkapi layanan di studionya, Widya juga bekerja sama dengan teman-temannya yang tak lain merupakan peserta kursus di LKP Yanti. Akan tetapi, mereka adalah peserta kursus reguler. Misalnya saja untuk perawatan sambung bulu mata.
“Jadi, kalau ada yang mau sambung bulu mata, tetap saya terima, tetapi nanti saya hubungi teman untuk perawatannya,” kata Widya menambahkan.
Bisnis salon Widya terus berkembang. Dalam sebulan, Widya bisa menyisihkan Rp5 juta sebagai keuntungan bersih dari usahanya tersebut. Nilai ini tentu jauh lebih besar jika dibanding penghasilannya saat masih menjadi buruh pabrik plastik.
“Saya benar-benar merasakan bagaimana langkah kecil saja mengikuti kursus telah mengubah kehidupan saya menjadi seperti saat ini. Bahkan, teman-teman dan kakak saya juga jadi ingin ikut program ini,” kata Widya yang bermimpi ingin memiliki jaringan-jaringan salon seperti Rudy Hadisuwarno. (Nan/NA)