Praktik Baik Tefa Kuliner SMKN 9 Bandung, Hasilkan Lulusan yang Tak Hanya Jago Masak

Praktik Baik Tefa Kuliner SMKN 9 Bandung, Hasilkan Lulusan yang Tak Hanya Jago Masak

Bandung, Ditjen Vokasi - Penguatan kompetensi keahlian para siswa SMK tak sekadar mengandalkan perusahaan. Sekolah juga  mengembangkan unit produksi berstandar dunia kerja untuk memperkuat kompetensi siswa dan mengasah kreativitas serta inovasi para siswa. 


Tumbuhnya unit produksi melalui teaching factory (Tefa) terlihat hampir di semua program keahlian di berbagai SMK di Indonesia. Salah satunya adalah SMKN 9 Bandung, Jawa Barat. Di sekolah ini, unit usaha dikembangkan pada seluruh jurusan, termasuk Jurusan Kuliner yang menjadi bidang keunggulan pada program SMK Pusat Keunggulan. 


“Memang kendalanya saat ini masih di pemasaran dan ini menjadi tantangan tersendiri. Akan tetapi, kami juga mulai menekankan pada para siswa bahwa kita tidak bisa hanya bisa produksi makanan saja, tetapi juga harus bisa belajar memasarkan produk kita,” kata Ketua Jurusan Kuliner, Niknik Siti Nurhasanah, beberapa waktu lalu. 


Keberadaan mitra untuk membantu proses pemasaran produk para siswa, lanjut Niknik, memang terus dilakukan. Misalnya adalah dengan menggandeng jaringan toko oleh-oleh di Bandung. Namun, hal tersebut belum berjalan secara optimal. Oleh karena itu, pihak sekolah berinisiatif untuk memaksimalkan sumber daya yang ada saat ini, termasuk memanfaatkan para siswa sebagai reseller produk-produk. 


“Selain dijual di Kafe Teras (kafe milik sekolah, red), produk siswa juga dijual sendiri oleh para siswa. Jadi, siswa kuliner itu tidak hanya memiliki kompetensi masak atau membuat kue saja, tetapi juga memiliki kompetensi pemasaran yang mereka dapat langsung dari bagaimana mereka memasarkan produk mereka atau produk teman-teman mereka,” Niknik menambahkan. 


Menurut Niknik, rata-rata para siswa di Jurusan Kuliner malah telah mahir berjualan. Mereka biasanya membuka order tiga kali dalam seminggu untuk produk-produk yang mereka buat sendiri di sekolah. 


Ada banyak produk yang sudah dikreasikan oleh para siswa ini. Apalagi, saat memasuki kelas 11, para siswa memang ditantang untuk bisa membuat produk kuliner mereka. Di kelas ini, mereka juga akan berbagi peran antara menjadi produser makanan ataupun karyawan.


“Jadi, kami berikan mereka modal untuk mengembangkan produk mereka dan kemudian dijual. Akan tetapi, sebelum membuat produk para siswa juga harus mempresentasikan produk yang akan mereka buat. Nanti juga ada tes rasa juga sebelum produk itu dijual ke masyarakat,” kata Niknik.


Dengan pola yang diterapkan tersebut, Niknik mengaku kreativitas dan daya inovasi siswa dalam menghasilkan produk menjadi lebih terasah, termasuk dalam hal pemasaran produk. Anak-anak dinilai dapat membaca celah peluang dan tren kuliner yang sedang terjadi di masyarakat. 


“Mereka menjadi tidak hanya jago masak dan produksi makanan, tetapi juga bisa berjualan dan kreatif. Misalnya dari segi penamaan makanan, mereka sudah paham bahwa nama produk harus menarik, tidak boleh terlalu biasa,” kata Niknik. 


Contoh lain, lanjut Niknik, adalah kreativitas dalam mencari ide kata-kata yang menjual untuk menggambarkan varian dalam produk makanan mereka. Para siswa tidak lagi menggunakan kata pedas level 1, 2, dan seterusnya, tetapi menggunakan pilihan yang lebih kekinian, seperti “brengsek” untuk menu jualan berupa produk mie ayam beku dengan level kepedasan paling tinggi. 


“Kami ingin teaching factory ini menghasilkan pembelajaran yang bermakna bagi para siswa. Dan itu hanya jika siswanya aktif, berpikir tersusun, dapat bekerja sama, dan juga dapat melakukan teaching factory praktik yang nyata,” ujar Niknik. (Nan/Cecep Somantri)