Fransiskus, Secangkir Kopi, dan Berbagi Semangat dengan Down Syndrome
Jakarta, Ditjen Vokasi PKPLK - Di balik secangkir kopi tersimpan nikmat sekaligus kisah perjalanan panjang dan perjuangan mendalam. Terlebih, bila kopi tersebut diracik dan dihidangkan oleh peserta didik dengan down syndrome, yang berusaha untuk membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih sebuah pencapaian. Hal itulah yang akan kita lihat bila mengunjungi Kopi Kamu, yang merupakan coffee shop pertama di Jakarta yang mempekerjakan karyawan dengan down syndrome.
Bekerja sama dengan Yayasan Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (Potads), kafe ini mengajak beberapa orang berkebutuhan khusus untuk mengaplikasikan keahliannya di sana. Mereka sudah dibekali beberapa keahlian melalui kelas khusus yang diadakan Rumah Ceria Down Syndrome (RCDS), termasuk kelas barista.
Keteguhan Hati Para Trainer
Berawal sekitar tujuh tahun lalu, ketika Fransiskus Satriawan seorang barista trainer, berkenalan dengan pengurus Yayasan Potads. Fransiskus pun kemudian diminta oleh yayasan tersebut untuk mengajar anak-anak dengan down syndrome.
“Saya datang di kegiatan Jumat Ceria Down Syndrome di daerah Pejaten. Saat itu ada dua hal yang terpikirkan. Pertama, penasaran. Kemudian, ya, saya bertanya apakah saya bisa (melatih anak dengan down syndrome)?,” terang Fransiskus.
Ia pun kemudian mulai mengajar anak dengan down syndrome dan tersadar bahwa anak-anak tersebut sangat spesial.
“Mereka ini luar biasa. Awal mula mengenal mereka, ikut melatih mereka, akhirnya saya jatuh cinta dengan mereka. Karena anak-anak ini super penyayang, super sabar, dan penggembira,” tambahnya.
Fransiskus mengisahkan, awal mula mengajar ia sempat mengalami kebingungan. Namun, lama kelamaan ia menemukan bagaimana pola mengajar anak-anak dengan down syndrome secara perlahan. Menurutnya, pola terbaik mengajar mereka itu adalah dengan menstimulasi, melakukan pengulangan, dan dibutuhkan kesabaran sangat ekstra.
“Tapi, lama-lama itu bukan lagi bentuk kesabaran, tapi sudah menjadi kebiasaan. Setiap anak itu berbeda-beda. Apa yang diajarkan kepada anak-anak ini supaya membuat mereka memiliki keahlian sebagai barista agar, supaya mereka bisa bekerja. Ke depan mungkin mereka bisa mulai usaha mikro dengan keluarga, misal jualan di rumahnya, kemudian bisa membuka coffee shop jika ingin skala lebih besar,” terang Fransiskus.
Mengembangkan Karakter Anak
Menurut Fransiskus, dalam pembelajaran anak-anak tersebut, ia tidak hanya mendorong pengembangan skill dan knowledge saja, tetapi juga karakter. Ia dan Yayasan Potads berusaha untuk menyederhanakan self improvement dengan pengembangan motorik halus dan juga motorik kasar anak-anak yang dilatih tersebut.
“Dari awal kita mengenal mereka kita lakukan asesmen dan membuat catatan. Improvement-nya, gimana ini pengembangan mereka secara kognitif juga, seperti menakar, menimbang dan mengukur serta mengikuti langkah dan tahapan. Kemudian, dari sisi kemampuan komunikasi juga. Ada yang bisa verbal dan mungkin bisa dua arah, apalagi saat melayani customer,” terang Fransiscus.
Hal penting lainnya, menurut Fransiskus, mengajarkan terkait dengan interaksi sosial dengan teman kerja dan masyarakat di mana mereka berada. Hal ini dilakukannya secara bersamaan setiap minggu. Fransiscus dan tim melakukan observasi ke setiap anak berulang-ulang. Meskipun bukan berlatar belakang psikologi yang melakukan terapi, mereka melakukan pengulangan terhadap apa yang mereka butuhkan.
“Sehingga butuh pemahaman bertahun-tahun. Masing-masing punya kemampuan yang berbeda-beda dalam memahami setiap proses satu bulan ada yang satu tahun, tetapi harus terus latihan terus menerus karena bisa berubah,” terang Fransiscus.
Tentu di balik cerita-cerita baik dari Fransiskus, ada banyak halangan yang dialami bersama Yayasan Potads. Namun, ia mempunyai cita-cita dapat mengembangkan pola pengajaran meracik kopi tersebut kepada anak-anak dengan down syndrome seluruh Indonesia.
“Kami berniat mengajarkan anak-anak dimulai dari mesin espresso sederhana. Tujuannya anak-anak bisa belajar dari yang mudah,” katanya.
Kesuksesan bagi anak-anak dengan down syndrome itu, menurut Fransiscus, adalah keberhasilan sebuah proses.
“Kesuksesan bagi saya adalah melihat mereka berkembang, itu adalah prestasi bagi kami. Setiap proses dan perkembangan adalah prestasi,” terang Fransiskus ketika ditanyakan bagaimana menilai kesuksesan dalam melatih anak-anak down syndrome. (Esha/Arifin/Dani)