Perdalam ‘Link & Match’, Vokasi Lebih Siap Masuk Industri

Perdalam ‘Link & Match’, Vokasi Lebih Siap Masuk Industri

Jakarta, Ditjen Diksi - Pendidikan Vokasi terdahulu bakal tampil “beda” ke depannya.  Bukannya mengapa, Kemendikbud sendiri melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen Diksi) yang baru dibentuk bakal lebih meningkatkan kompetensi para lulusan pendidikan vokasi.


“Ditjen yang baru, namun tidak dengan program baru, melainkan memperdalam ‘link & match’ sampai dengan menikah, berbagi peran, risiko, hingga investasi,” terang Dirjen Vokasi Wikan Sakarinto dalam livestream dialog industri bertema “Menciptakan SDM Unggul dengan Pendidikan Vokasi” pada Jumat pagi (03/07) yang dipandu oleh Pemimpin Redaksi Koran Tempo Budi Setyarso.
Wikan menjelaskan,  ukuran “memperdalam” yang dimaksud adalah mencakup beberapa hal.  Pertama, kampus dan SMK harus merombak kurikulum bersama industri. Kedua, lembaga pendidikan menempatkan pengajar dari pihak industri, serta ketiga, pemagangan akan diajarkan secara bersama.  Adapun keempat, harus ada penyerapan lulusan pendidikan di industri. “Ini wajib untuk ‘link & match’. Sehingga kalau banyak pernikahan, namanya ‘pernikahan massal’,” jelasnya.
Karenanya, tutur Wikan, seluruh strategi harus dilakukan dengan duduk bersama antara pendidikan vokasi dengan industri.  Sebagai “mak comblang”, pemerintah juga menyesuaikan regulasi sesuai dengan kebutuhan tersebut. Selain itu, pihaknya akan turut merombak mind set pengajar agar dapat menginspirasi peserta didiknya. Pasalnya, vokasi harus menjadi pilihan pertama peserta didik hingga hasilnya dapat terjaga.
Narasumber lain, yakni Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia Rosan Roeslani, menyebutkan bahwa masih terjadi gap tinggi antara kebutuhan industri dengan pendidikan vokasi. Bahkan, pihaknya telah melakukan pelatihan kepada lebih dari 2.000 perusahaan yang siap bekerja sama dengan vokasi.

“Vokasi harus kerja sama dengan usaha agar bisa berjalan. Kami apresiasi pemerintah, dan terus memberi masukan agar program vokasi cocok dengan kebutuhan industri ke depannya. Vokasi sangat penting untuk meningkatkan daya saing pekerja kita,” terang Rosan.


Menurut Rosan, pendidikan vokasi saat ini sudah sangat luar biasa, semisal jurusan animasi di Kudus, Jawa Tengah, yang dapat langsung bekerja di luar negeri. Karenanya, pendidikan vokasi harus menjadi prioritas, berkesinambungan, dan menjadi solusi terbaik dalam menciptakan lapangan pekerjaan.

Senada dengan Rosan, Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam mengatakan, sejak 2016 pihaknya telah bekerja sama dengan pendidikan vokasi. Tercatat, sebanyak 600 instruktur yang dilatih, dan telah dilakukan di beberapa daerah, semisal di bidang kesehatan dan tourism. Menurutnya, kurikulum yang tepat bakal menghemat durasi pelatihan guna menyiapkan pencari kerja sesuai dengan kebutuhan industri.
“Dari beberapa perusahaan mengakui keunggulan tersebut, dari bagaimana utilisasi mereka yang sudah disiapkan lebih awal dibandingkan dengan mereka yang berasal dari universitas memang sangat membantu untuk mempersingkat waktu pelatihan,” tutur Bob.

Bob pun berharap vokasi bisa menyelesaikan ragam permasalahan industri. Menurutnya, ada empat faktor mismatching yang kerap terjadi di dunia industri, yaitu mismatching antara pencari kerja dan industri kerja mengenai kebutuhan softskill, mismatching yang terjadi ketika sudah bekerja dan terdapat perbedaan akselerasi kecepatan development karyawan dengan dunia kerja, mismatching perubahan industri yang sangat cepat dengan kebutuhan tenaga kerja, serta mismatching ekosistem yang menghubungkan usaha, pendidikan, dan juga pemerintah daerah untuk terlibat dalam vokasi.

Sementara itu Peneliti & Pengajar Program Vokasi UI Devie Rahmawati menambahkan, industri memang membutuhkan vokasi yang dapat menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Menyoal perbandingan lulusan vokasi dengan yang lainnya, ia mencontohkan negara tetangga Australia yang memberikan honor lulusan vokasi bisa 2-3 kali lebih tinggi ketimbang lulusan akademik biasa. Mengapa? “Karena mereka sudah siap tempur,” tegasnya.

Devie pun menjelaskan, di Indonesia sendiri pendidikan vokasi memiliki kurikulum 321, yaitu tiga semester awal mahasiswa akan belajar di kampus dengan dosen ahli dan juga praktisi, dua semester untuk sekolah pada industri secara langsung, dan satu semester yang bisa dilakukan mahasiswa sambil melanjutkan pekerjaan di industrinya masing-masing. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor unggul mengapa lulusan vokasi memiliki pengalaman untuk bekerja, bahkan sebelum lulus sekolah. Meski, keunggulan seperti ini juga yang kerap dikesampingkan oleh banyak sektor industri dan masyarakat.

“Ini yang harus dibongkar dari dunia vokasi, bahwa banyak orang yang menganggap vokasi itu hanya hands on practice. Padahal, vokasi juga mempelajari bagaimana sistem dan services yang sangat dibutuhkan oleh industri,” paparnya.
Vokasi kini memang akan lebih digeliatkan di bawah naungan Ditjen Diksi dengan deretan program anyarnya, utamanya menyukseskan “link & match”. Bersama dengan industri, vokasi bakal bergandengan tangan secara berkesinambungan. “Setelah kuat, saya yakin vokasi akan menjadi pilihan (calon peserta didik, red). Vokasi harus ‘nikah’ dengan industri hingga berubah bersama,” pungkas Dirjen Wikan. (Diksi/TM/AP/AS)