Memupuk Harap dari Gempa
Pasaman Barat, Ditjen Diksi --Duka itu masih tersirat kuat dari raut wajah Muhammad Roy. Sesekali senyumnya memang mengembang, tapi rona cemas dan kebingungan, tak bisa ia tutupi sepenuhnya. "Rumah pusaka kami hancur, sudah rata dengan tanah," katanya lirih.
Roy merupakan satu dari delapan mahasiswa di Politeknik Pertanian (Politani) Payakumbuh, Sumatra Barat, yang menjadi korban terdampak gempa bumi di Kabupaten Pasaman Barat. Bersama tujuh mahasiswa lainnya, Roy menerima bantuan logistik dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Vokasi sebagai bentuk kepedulian kepada para penyintas gempa. Penyerahan bantuan dilakukan secara langsung oleh perwakilan Ditjen Pendidikan Vokasi pada 8 Maret lalu di Politani Payakumbuh.
Diketahui, gempa berkekuatan magnitudo 6.2 telah mengguncang wilayah Kabupaten Pasaman Barat pada 25 Februari 2022. Malang bagi Roy, pusat gempa ternyata berada di kampung halamannya, di Nagari Talu, Kecamatan Talamau, Pasaman Barat. Tak pelak, rumah pusaka tujuannya pulang selama ini, rata dengan tanah. Jarak antara Payakumbuh dan kampung halaman Roy sekitar 200 kilometer, sekitar lima jam perjalanan dengan medan jalan berkelok-kelok dan rawan longsor.
Kehilangan rumah pusaka yang menjadi satu-satunya tempat tinggal bagi Roy dan keluarganya, jelas merupakan pukulan berat bagi sulung dari dua bersaudara ini. Apalagi, Roy juga bukanlah mahasiswa berada. Di rantau orang, Roy harus banting tulang menghidupi diri demi bisa melanjutkan studi. Sementara ibu dan adiknya, tinggal di kampung. Mereka bekerja sebagai buruh perkebunan.
"Kadang kalau lagi libur kuliah, saya juga kerja jadi buruh perkebunan untuk bayar uang kuliah. Untuk keperluan sehari-hari dan sewa kos (indekos, red), saya kerja di kampus, bersihkan kandang sapi, atau bantu apa saja," kata Roy seraya berterima kasih atas paket bantuan dari Ditjen Pendidikan Vokasi.
Meski sedikit tenang karena bantuan banyak mengalir ke lokasi gempa, tapi pikiran Roy tetap saja kalut. Ia membayangkan bagaimana kondisi adik dan ibunya di pengungsian. Komunikasi memang sesekali terjalin, namun Roy tak bisa sering-sering mengunjungi mereka. Selain keterbatasan biaya, akses jalur ke rumahnya juga masih sulit. Tak hanya jalan yang terputus, longsor juga sering terjadi.
"Jadi, saya suruh di sini saja. Nanti kalau sudah agak kondusif, baru tengok mereka," kata Roy.
Akan tetapi, Roy sendiri mengaku tak tahu ke mana ia akan pulang nanti. Sementara rumah pusaka satu-satunya, kini hanya bersisa jejak saja. "Saya hanya ingin bisa cepat lulus, bisa bekerja yang layak. Jadi, saya bisa bantu bangun kembali rumah kami ," ujarnya penuh harap.
Berdasarkan data Pemkab Pasaman Barat, akibat gempa, 2.993 unit rumah rusak, 1.050 di antaranya rusak berat. Kerusakan rumah paling banyak berada di Kecamatan Talamau, yakni mencapai 1.896 unit. Dari 540 unit yang mengalami rusak berat, salah satunya rumah keluarga Roy.
Sebenarnya tak hanya Roy yang bingung kehilangan tempat tinggal akibat gempa, Muhammad Leo Rifaldo, siswa SMKN 1 Talamu, juga bernasib serupa. Meski tak harus tinggal di tenda pengungsian, Leo dan keluarganya kini terpaksa menempati rumah gilingan padi milik mereka. Kadang, Leo dan keluarga malah memilih tidur di mobil bak terbuka, takut gempa. Mobil bak terbuka ini juga tanpa atap karena memang biasanya digunakan untuk mengangkut padi.
“Ya gimana lagi, rumah kami sudah rusak, tinggal di rumah giling padi juga takut kalau gempa lagi. Jadi, kami kadang tidur di bak mobil saja. Kalau hujan baru masuk ke rumah,” kata Leo.
Perkara tidur di rumah gilingan padi ataupun di bak mobil, sebenarnya tidaklah terlalu merisaukan benak Leo. Ia hanya galau akan nasib kuliahnya nanti. Akibat gempa, tidak hanya rumah yang rusak, warung tempat usaha keluarga Leo juga hancur. Banyak barang-barang tak bisa diselamatkan.
"Kuliah saya ini entah gimana jadinya. Rumah kami hancur, warung juga hancur. Padahal, kemarin saya sudah mendaftar kuliah di Padang," kata Leo yang berencana mengambil ilmu komputer di Politeknik Negeri Padang.
Meski kedua orang tua Leo meyakinkan kuliah tetap harus berlanjut, namun Leo sendiri takut akan menambah beban orang tua. Apalagi, biaya kuliah juga tidak murah, Leo juga harus indekos nantinya di Padang. “Semoga bisa dapat beasiswa, biar tidak terlalu merepotkan orang tua,” harapnya.
Rasa sedih, ketakutan, dan kekhawatiran seperti yang dialami Roy maupun Leo memang jamak dirasakan para penyitas bencana, termasuk gempa di Pasaman Barat. Ini juga yang membuat Kepala SMKN 1 Talamau, Heliswan, berencana meminta bantuan Dinas Pendidikan untuk menggelar kegiatan pemulihan trauma (trauma healing) bagi para siswa di SMKN 1 Talamau.
“Kami tidak ingin ketakutan dan kesedihan mereka berlarut-larut. Jangan sampai jadi tidak mau kembali ke sekolah, karena ekonomi orang tua hancur, rumah sudah tidak ada. Kalau bahasa Minang-nya, ‘Apa lagi yang bisa diharapkan'. Kami tidak ingin semua itu terjadi,” kata Heliswan.
Di SMKN 1 Talamau sendiri, ada sekitar 200-an korban terdampak gempa. Jumlah tersebut terdiri atas guru dan siswa. Bahkan, ada salah satu alumni dan bayinya meninggal dunia dalam peristiwa tersebut.
Meski tidak berada di titik pusat gempa, namun jejak sisa gempa di SMKN 1 Talamau masih terlihat jelas. Beberapa dinding bangunan ruang praktik siswa retak-retak. Retakan juga terlihat mengguarat pada lantai ruangan berlapis keramik. (Diksi/Nan/AP/NA)