Kasab: Seni Kriya yang Hampir Terlupa, Ima Bangkitkan Warisan Budaya
Aceh Besar, Ditjen Vokasi - Jari-jari Imaniar, atau bisa disapa Ima lincah menari di atas kain, mengarahkan benang emas ke pola yang rumit dan indah untuk membentuk kasab. Kasab merupakan seni kriya sulaman benang emas yang berasal dari Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Ima menjadi salah satu perajin muda yang melestarikan budaya tersebut.
Rasa kecintaan Ima terhadap tanah kelahirannya semakin membara ketika ia mengikuti program Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW) Tekun Tenun dan Kriya Tahun 2023. Selepas lulus sekolah menengah, ia pun mengikuti pelatihan tersebut.
“Saya ingin menambah ilmu dan pengalaman. Terlebih, saya juga pengen menjadi mandiri tidak bergantung kepada orang tua dan mandiri finansial,” ujar Ima menceritakan latar belakangnya mengikuti pelatihan seni kriya.
Pada umumnya, kasab dalam konteks budaya Aceh digunakan sebagai kelengkapan upacara adat, seperti upacara perkawinan, peusijuek dan upacara lainnya. Bentuk sulaman kasab tersebut pun bermacam-macam, mulai dari sarung bantal, tudung saji, kipas, tutup gelas, dan lainnya. Dengan warna-warna dasar yang cerah, kasab selalu tampil menawan.
“Warna yang sering dipakai itu mempunyai arti masing masing. Dulu, kalau merah untuk panglima, kuning untuk raja, kalau warna hijau adalah lambang warna untuk para ulama,” ungkap ima menuturkan filosofi kain Kasab.
Menghidupkan Kembali Warisan dengan Inovasi
Setelah menyelesaikan sekolah, banyak orang di desanya pergi merantau atau mencari pekerjaan lain. Namun, Ima memutuskan untuk tetap tinggal dan mengabdikan dirinya pada seni kasab. Baginya, menjadi perajin kriya bukanlah pilihan yang mudah, tetapi sebuah panggilan.
“Sulaman kasab membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Setiap motif memiliki makna tersendiri, seperti motif bunga ataupun yang lainnya,” jelas Ima.
Tantangan terbesar bagi Ima bukan hanya dalam menyempurnakan teknik, tetapi juga dalam menghadapi kenyataan bahwa kasab semakin terpinggirkan di era modern. Banyak anak muda di desanya yang lebih tertarik pada pekerjaan dengan hasil instan, meninggalkan seni kriya ini.
Ima menambahkan, “Makanya, saat program PKW Tekun Tenun dan Kriya, saya juga mengajak teman saya untuk pelatihan bareng. Karena kesempatan ini sangat sayang kalau dilewatkan.”
Ima tidak hanya ingin menjaga tradisi, tetapi juga memberi napas baru. Akhir-akhir ini, ia mulai mengembangkan desain-desain kasab yang lebih modern, tanpameninggalkan ciri khas aslinya. Kreativitas Ima ini perlahan mulai membuahkan hasil.
“Bahkan, Ibu Pj. Bupati Aceh Besar pernah memesan tirai di saya dan juga pemesanan melalui Dekranasda Aceh Besar juga cukup banyak,” tutur gadis berusia 20 tahun tersebut.
Dari keuletannya dalam melestarikan tradisi, ia pun dapat berdikari dengan kakinya sendiri. Tak lagi meminta uang saku dari Sang Ibu, kini, tiap bulan justru Ima lah yang memberikan hasil karya tangannya untuk keluarga. Ima menyebutkan, untuk harga sarung bantal sekitar Rp350 ribu. Lambat laun, pendapatannya terus bertambah dengan mendapatkan penghasilan sampai dengan Rp1,5 juta per kasab.
Ima pun menjadi salah satu perwakilan peserta untuk mengikuti pameran Kriyanusa 2024 di Jakarta Convention Center (JCC) pada akhir Agustus lalu. Ia juga sering diundang ke berbagai pameran kerajinan tangan di Aceh. Lewat pameran tersebut pula, ia menjadi agen untuk menyebarkan pengetahuan tentang kasab.
“Saya ingin menjadi motivator untuk generasi muda di wilayah Aceh, bahwa kasab adalah seni kriya yang harus dilestarikan,” lugas Ima.
Ima berharap agar kasab dapat terus hidup dan menjadi warisan yang abadi dari Aceh untuk dunia. Ia percaya bahwa di balik setiap motif yang rumit, tersimpan cerita tentang ketekunan, cinta, dan rasa hormat terhadap budaya. Ia pun ingin menjadi perajin muda yang karya-karyanya tidak hanya terkenal di domisilinya, tetapi juga di luar Aceh. (Zia/Cecep)